Di tengah kebisingan hidup, manusia sering terseret oleh pusaran prasangka: ia menyangka dirinya pengatur utama jalan dunia, menyusun rencana demi rencana seakan takdir menunggu persetujuannya. Namun di balik layar itu ada kuasa yang bekerja dengan pasti takdir yang menata kejadian dengan hikmah yang sering tak terjangkau pandang manusia.
Ketika takdir menampakkan wajahnya yang pahit, mudah baginya menuding ketidakadilan. “Mengapa aku tertimpa ini?” tanyanya, lalu ia menaruh amarah pada yang Maha Menetapkan. Di sinilah kekeliruan halus itu bermula: menyalahkan takdir laksana menyalahkan cermin yang memantulkan retakkan realitas. Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa bukan takdir yang buruk, melainkan salah sikap dalam menyikapinya. Kata-kata itu mendorong kita mundur dari ruang keluhan menuju ruang tafakkur.
Analoginya sederhana: hujan yang menenggelamkan baju kita sesungguhnya menyuburkan ladang; malam yang pekat memberi tempat bagi bintang-bintang menebarkan cahayanya. Begitu pula pengalaman yang tampak sebagai kemalangan bisa jadi obat yang menyembuhkan akar-akar keangkuhan, mematangkan jiwa, dan membuka mata batin. Penderitaan bukanlah hukuman melainkan madrasah; kehilangan bukan kehampaan tetapi ruang untuk menata kembali makna kepemilikan.
Takdir mendidik dengan bahasa yang tak selalu ramah pada telinga fana. Ia merobek kepalsuan, menguji kesabaran, dan mengikis kerak ego. Yang membuat sengsara bukanlah takdir itu sendiri, melainkan keterpaksaan hati menolak pelajaran yang terselip di dalamnya. Jika kita menempuh hidup dengan sikap penerimaan yang bijak, takdir berubah rupa: dari ancaman menjadi surat cinta dari langit dihiasi pelajaran, dikemas dalam ujian, dan dibubuhi rahmat yang kelak tampak jelas.
Lebih jauh, menyikapi takdir menuntut pendidikan batin: seni memandang jauh ke depan, bukan hanya melihat titik luka saat ini. Ia menuntut kebijaksanaan untuk menata ulang makna, agar tiap kejadian menjadi pelita kecil yang menerangi langkah berikutnya. Kita diajak menjadi arsitek makna, bukan korban narasi. Dengan demikian, sabar menjadi alat kerja, bukan kata mati; syukur menjadi kacamata yang menajamkan penglihatan batin.
Maka berhentilah mengeluh sebelum menempuh seluruh jalan. Belajarlah membaca takdir bukan dengan emosi, tetapi dengan sabar dan nurani tajam. Di akhir perjalanan, seringkali yang tampak awalnya murka berubah menjadi terang yang agung. Yusuf ‘alaihissalam adalah bukti, rangkaian luka menjadi tangga menuju kemuliaan. Jika kita pandai memaknai, takdir tidak pernah salah; yang perlu dibenahi adalah cara kita menerima, mensyukuri, dan hidup bersama ketetapan Ilahi.
Comments
Post a Comment