Penundaan Doa dalam Pelukan Tuhan

 


Kita kerap datang kepada Allah dengan rencana yang rapi: A hari ini, C besok. Lalu takdir mengarah ke B dan D. Hati pun gamang, seolah doa dibiarkan menggantung. Padahal, sering kali penundaan adalah pelukan tak terlihat—cara Allah menyelamatkan kita dari sesuatu yang belum siap kita tanggung.

Bayangkan balita yang memaksa menyeberang jalan raya. Ia sudah di tepi aspal ketika ayahnya mengangkat dan membawanya pulang. Anak itu menangis, kecewa, karena “keinginannya” dihalangi. Namun, di mata sang ayah, itulah puncak kasih. Bukan penolakan selamanya; hanya penundaan sampai waktunya tiba dan cara yang benar diajarkan. Begitulah doa: tidak selalu “sekarang” dan “sesuai kita”, melainkan “tepat” menurut Allah.

Ibn ‘Aṭā’illah mengingatkan: jangan putus asa bila doa tampak tertunda; Allah menjawab dengan yang Dia pilih bagi kita, pada waktu-Nya, bukan pada waktu kita. Imam al-Ghazali menambahkan kejernihan: ketetapan yang tampak “buruk” bukanlah keburukan pada hakikatnya—yang buruk sering kali adalah cara kita memandang dan menolak hikmah di baliknya. Karena Allah Maha Baik, pemberian-Nya—entah berupa karunia menyenangkan atau ujian yang menyadarkan—tetap mengarah pada kebaikan.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Pertama, benahi kamus waktu: “belum” bukan “tidak”; ia bisa berarti pemurnian, penjagaan, atau kenaikan derajat. Kedua, benahi kamus kepemilikan: tugas kita berikhtiar dan beradab, bukan memaksa skenario. Ketiga, rawat prasangka baik, sebab husnuzhan membuka pintu makna. Keempat, disiplin adab doa: memohon dengan rendah hati, memperbanyak shalawat, memilih waktu mustajab, dan—terutama—meminta pilihan-Nya, bukan memaksa pilihan kita.

Pada akhirnya, penundaan melatih jiwa: dari mengejar hasil menjadi ridha, dari mengendalikan menjadi berserah yang cerdas. Saat “waktu menyeberang” tiba, kita tak lagi merangkak; kita berjalan tegak—dengan ilmu, tawakkal, dan hati yang tenang—karena percaya: Dia tak pernah salah memilihkan jalan.

Comments