Tawakkal; Antara Anak Panah, Burung dan Hati Tenang


Kata tawakkal terulang puluhan kali dalam Alquran, para ulama menghitungnya hingga tiga puluh delapan kali, seolah Allah menegaskan: ini bukan konsep pinggiran, melainkan poros batin seorang mukmin. Namun, Alquran tidak pernah membiarkan tawakkal mengerdil menjadi alasan pasif. Ia selalu datang setelah ikhtiar, menyusul tindakan yang nyata.

Perhatikan bagaimana ayat menempatkannya. Allah berfirman:

وَيَقُولُونَ طَاعَةٌ... فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا
“…maka berpalinglah kamu dari mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung.” (QS. An-Nisā’: 81)

Di sini ada gerak, fa a‘rid ‘anhum berpaling, sikap tegas, keputusan strategis, baru kemudian tawakkal. Demikian dalam kasus yang lain, dapat ditemui pada kasus ketika peluang damai terbuka,

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Jika mereka condong pada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah…”

Perintah “condonglah” mendahului “bertawakkallah”. Pesannya terang: tawakkal bukan diam lalu berharap, melainkan melangkah lalu menyerah-kan hasil.

Rasulullah ﷺ menutup setiap dalih kemalasan dengan perumpamaan yang tak pernah pudar sinarnya:

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung; ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang petang dalam keadaan kenyang.”

Lihat burung: ia tidak menunggu remah jatuh ke sarang. Ia terbang, mengukur angin, menelisik ladang, lalu kembali. Tawakkal bukan menutup mata, melainkan membuka sayap.

Secara filosofis, tawakkal adalah relasi tiga hal: akal yang merencanakan, tangan yang bekerja, dan hati yang menyerahkan. Ibarat pemanah, ia menajamkan anak panah (ilmu), membidik dengan tenang (ikhtiar), melepaskannya (tindakan), lalu menerima hasil dengan lapang, karena angin di udara dan gerak sasaran berada di luar kuasanya. Tanpa melepas tali busur, “aku bertawakkal” hanyalah kalimat kosong. Sebaliknya, melepaskan panah tanpa menyebut Nama-Nya adalah kesombongan halus.

Tawakkal juga seperti nakhoda: layar dibentang, arah ditentukan, pelayaran dimulai. Di titik itu, hati tidak didera gelombang cemas, sebab ia tahu ada Ar-Razzāq yang menguasai laut dan angin. Inilah yang membedakan tawakkal dari fatalisme jabbariyah: tawakkal menghormati hukum sebab-akibat sebagai sunnah Allah, namun menolak menjadikan sebab sebagai “tuhan kecil”.

Bagaimana mempraktikkannya? (1) Rancang dengan ilmu sebagai tugas manusia. (2) Lakukan yang terbaik dalam bentuk amanah hamba. (3) Jaga adab doa, memohon pilihan-Nya, bukan memaksa pilihan kita. (4) Ridha pada hasil, sebab yang memilih untuk kita adalah Dia yang tak pernah salah memilih.

Maka melangkahlah seperti burung: pergilah pagi dengan laparnya ikhtiar, dan pulanglah petang dengan kenyangnya iman. Di antara keduanya, biarkan hati beristirahat di pangkuan kalimat ini: Hasbunallāhu wa ni‘mal wakīl.

Comments